Pengalaman Terburuk karena Gedung Bioskop Lama Tayu

Kembali ke masa Sekolah Dasar, aku meningat kembali memori lama yang aku ingin sekali lupakan dulu. Tapi setelah aku pulang ke kampung halamanku aku kembali mengingat setiap ditail kejadian yang dulu menimpaku.

Cerita ini bermula dari keisengan teman-temanku. Aku yang masih belum banyak tahu tentang dunia 'mereka' pun tanpa pikir panjang mengikuti permainan ini.
Septino Wibowo
Kira-kira 14 tahun lalu,
Aku yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 2 atau 3 samar-samar di memoriku. Yang kuingat aku masih bergigi ompong dibagian tengah atas dan berpipi chubi dan berkulit sawo matang. Dulu, waktu masih kecil aku sering bermain dengan kaus kutang putih dan celana pendek dan jarang memakai sandal kemanapun aku pergi bersama teman-temanku. Ya, itulah aku semasa kecil haha.

Hari itu begitu terik. Sehabis pulang sekolah, teman-temanku mengajakku bermain. Kami mengendarai sepeda berkeliling desa dan sampai ke jalan raya. Saat kami melihat gedung tua yang masih kokoh penuh dengan rumput liar yang tingginya lebih dariku, kami pun tertarik untuk masuk kedalamnya. Kami memarkirkan sedepa kami asal-asalan didepan rumah orang dan langsung memanjat pagar sebelum ada orang yang tahu.

Setelah kami berhasil masuk, rumput liar menyambut kami. Aku merasa gatal-gatal disekujur tubuhku untuk beberapa saat. Kami berhasil melewati rumput liar itu dan masuk ke gedung itu. Tak ada yang spesial, hanya debu dan bangunan yang kosong. Hal ini membuat kami bersemangat untuk bermain petak umpet.

Sial, aku yang pertama kali jaga. Aku yakin mereka bersekongkol supaya aku yang jaga pertama kali. Ya, aku adalah yang terkecil dan termuda diantara mereka. Aku sering jadi bahan ejekan dan lelucon mereka tapi karena waktu itu aku kesepian dirumah, aku terpaksa berteman dengan mereka yang suka memanfaatkanku seenaknya.

Aku mulai mencari keberadaan mereka ketika selesai menghitung satu sampai sepuluh. Sunyi, itu yang kurasakan. Meringiding dan ketakutan. Aku memang penakut dari dulu, tapi sekarang memang sangat berbeda. Aku tak takut lagi dengan 'mereka'. Tapi saat itu, aku benar-benar penakut. Aku mencoba berlari kesana kemari mencari keberadaan teman-temanku tapi tak satupun aku temukan. Aku berlari kearah utara bangunan, aku melihat anak kecil berambut agak panjang sebahu menangis.

Aku menghampirinya, ketika aku melihat wajahnya aku tak mengenali siapa anak ini. Dia kemudian melihatku sesaat kemudian menangis lagi. Dia dengan sesenggukan berbicara dengan bahasa jawa yang artinya:
"Apa kau kemari untuk bermain denganku? Kulihat dari tadi kau dipermainkan teman-temanmu. Kenapa kau mau berteman dengan anak-anak seperti mereka? Mereka jahat padamu. Mereka sudah pergi dari tadi dari bangunan ini. Ikutlah denganku, kita bisa berteman dan bermain disini. Namaku Alexa Wijaya. Kau terlihat tak asing, mungkin aku sering melihatmu dari sini beberapa hari yang lalu. Kau tak perlu takut, kau aman selagi aku ada disini. Tapi, jangan pernah buka pintu itu (sambil menunjuk pintu kayu di sudut ruangan), disana banyak yang jahat seperti temanmu."
Kurang lebih seperti itu terjemahannya jika diperhalus.

Aku merasa anak ini berbeda, yang kulihat dia nampak kedinginan dan sedih. Aku hanya mendengarkan apa yang dia katakan sambil menjawab pertanyaannya sesekali. Tak terasa hari mulai sore, Alexa menyarankanku untuk segera pulang sebelum maghrib datang. Aku pun memanjat pagar dan tak menemukan sepedaku. Aku tahu teman-temankulah yang menyembunyikan sepedaku. Aku mencari sepedaku di sepanjang jalan, sesekali orang lewat menegurku bertanya apa yang aku lakukan sore-sore sendirian disana. Aku hanya menunduk dan bilang sepedaku hilang.

Orang-orang hanya bertanya tapi tak mau membantuku untuk mencari sepedaku. Aku tak mungkin pulang tanpa sepedaku. Ibu dan nenekku pasti akan marah besar padaku. Aku mulai menangis kebingungan mencari sepedaku berada. Tak terasa air mataku mulai membasahi pipiku dan sampai sesenggukan. Aku duduk dipinggir jalan sambil menangis karena kesal kepada teman-temanku dan lelah mencari sepedaku. Apa salahku pada mereka sampai mereka memperlakukanku seperti ini. Apakah ini hal lucu bagi mereka? Dimana otak mereka sebenarnya.

Aku terus menerus memaki-maki mereka dalam batin dan bersumpah tak mau lagi bermain dengan mereka selamanya. Tak lama setelah adzan maghrib selesai berkumandang, Alexa tiba-tiba muncul di pojokan gedung, dia memberi isyarat untuk mendatanginya dengan melambaikan tangan. Aku mengusap air mataku dan masih sesenggukan dan berjalan lemas menghampiri Alexa.

Alexa berkata, sepedaku ada didalam gedung di pagar sebelah kiri. Teman-temankulah yang menaruhnya disana. Tega sekali mereka melakukan itu padaku. Bagaimana aku mengambil sepedaku? Badanku lebih kecil daripada sepedaku. Aku menunggu orang lewat untuk membantuku mengeluarkan sepedaku tapi tidak ada yang mau. Dari yang kulihat, mereka ketakutan melihat gedung bioskop lama ini. Alexa menyuruhku untuk pulang dan kembali lagi besok untuk mengambil sepedaku. Alexa bilang sepedaku akan aman disana bersamanya.

Dengan langkah berat aku berjalan menunduk sambil terus berkucuran air mata pulang kerumah. Kuabaikan orang-orang yang lewat dan terus bertanya ada apa denganku. Sampai dirumah, kakiku sakit sekali berjalan sejauh itu, dan dalam benakku sudah terpikirkan ibu dan nenek akan marah kepadaku. Aku mengetuk pintu dan masih dengan kepala tertunduk sambil sesenggukan. Ibu pun menghampiriku dan bertanya darimana saja aku seharian. Aku hanya menggeleng kepalaku sambil terus menangis merasa bersalah. Ibu terlihat tak marah, dia menyuruhku untuk segera mandi.

Setelah mandi, aku sambil sesenggukan bercerita apa yang terjadi padaku, Ibuku pun ikut menangis mendengar ceritaku. Tapi dalam ceritaku itu, aku tidak menyebutkan nama Alexa Wijaya seperti janjiku pada Alexa untuk tidak menceritakan satu hal pun tentangnya pada siapapun.

Keesokan harinya aku ditemani kakakku mengambil sepedaku yang masih sama posisinya seperti kemarin. Kakakku menasihatiku untuk tidak lagi datang ke gedung itu dan menjauhi teman-temanku yang jahat itu. Aku mengangguk paham. kami pun pulang kerumah.

Semenjak saat itu ketika aku lewat gedung itu sosok Alexa tak pernah muncul lagi, aku tak tahu kenapa. Aku mencoba memanggilnya tapi dia tak pernah muncul. Akhirnya aku pun menyerah dan tak datang lagi ke gedung itu sampai aku mengingatnya kembali sebulan yang lalu. Aku penasaran kenapa dia tak mau lagi menemuiku. Dengan diriku yang sekarang, aku tahu bagaimana cara memanggilnya, yang artinya aku memanggil semua penghuni gedung itu untuk datang. Dan..... mereka pun datang.

Next Story tentang Alexa Wijaya di artikel selanjutnya.
Ingat, mereka selalu ada disekitar kita, Septino Wibowo