Sejarah Hantu: RATIH

RATIH, itu namanya. Artikel ini mungkin adalah artikel terberat yang pernah saya tulis di blog saya. Tapi karena banyaknya request tentang sosok ini saya memberanikan diri untuk menulisnya.Sosok RATIH ini memang bukanlah hantu biasa. Dia adalah hantu di masa kecil saya yang hampir membuat saya mati.

Ceritanya sangatlah rumit, memikirkannya saja saya sudah merasa lemas. Mungkin suatu saat saya akan memberanikan diri menulis kisah saya yang ahmpir mati karena depresi, stres, dan gangguan lainnya. Jadi, jangan anggap orang-orang seperti saya itu memiliki hidup yang menyenangkan karena justru sebaliknya.
Septino Wibowo
Pertama kali saya melihat sosok ini ketika saya berumur 7 tahun waktu Sekolah dasar. Dia berada di sudut pojok ruang kelas memakai baju putih khas kuntilanak. Wajahnya pucat, dia adalah sosok kuntilanak pertama kali yang saya lihat dengan fisik yang tak menyeramkan, tadinya.

Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun saya sudah tak pernak melihatnya lagi. Puncaknya, kelas tujuh SMP. Ketika sesaat sebelum saya hampir mati, RATIH membisikkan kata-kata sugesti yang membuat hati dan pikiran saya gelap. Walaupun saya selamat, guncangan hebat waktu itu masih terngiang dan terlihat jelas sampai sekarang.

Walaupun dari penampilannya terlihat tidak baik, dia adalah sosok yang tangguh yang pernah hidup di masa remaja nenek. Dan inilah kisah sosok RATIH.

Cerita dimulai,
Waktu nenek remaja, di tahun 40an saat nippon masih menguasai negeri ini. Nenek punya dua teman akrab. Mereka bernama Santi dan Ratih. Mereka menghabiskan waktu bersama di desa kecil pegunungan lasem, Rembang. Seperti anak kecil pada umumnya, mereka bermain dari pagi sampai sore dan kembali ke rumah masing-masing saat magrib datang.

Santi adalah seorang gadis keturunan cina yang hidup di pemukiman pecinan lasem. Memiliki kehidupan yang terbilang cukup. Nenek yang sudah ditinggal mati kedua orang tuanya waktu kecil hidup bersama pamannya. Sementara Ratih hidup bersama ayahnya dan enam adiknya.

Tragedi pahit muncul saat nenek memutuskan menikah di usia muda. Nenek memutuskan untuk pindah ke Tayu, Pati. Santi yang sudah menikah duluan merelakan Nenek pergi pindah ke luar kota. Sementara Ratih yang masih sibuk bekerja banting tulang untuk menghidupi enam adiknya mulai putus asa dan gelisah karena hanya dia yang belum menikah dan harus menanggung beban berat karena sang ayah sudah lama meninggal karena suatu penyakit.

Malam hari, Ratih menangis mengingat dua sahabatnya yang sudah meninggalkannya pergi karena memiliki kehidupan mereka masing-masing. Ratih yang tinggal di rumah gubuk merasa tak tahan lagi. Dia memutuskan untuk pergi menyusul Nenek ke Tayu menggunakan kereta. Ragil, adiknya yang paling kecil tak mau pergi. Dan kelima adiknya yang lain juga tak mau pergi.

Ratih bingung dengan keadaannya karena bekerja serabutan setiap hari tidak dapat mengubah nasibnya. keesokan harinya, tetangga mulai bergunjing tentang Ratih yang masih saja sendiri. Mereka membicarakan tentang pernikahan Nenek da juga Santi. Ratih yang sakit hati pun menangis dan pulang ke rumahnya. beberapa hari berikutnya, Ratih tak pernah keluar rumah. Keenam adiknya terpaksa harus tidak makan, dan Ragil pun jatuh sakit.

Setelah bangun dari tidurnya, Ratih baru sadar dia telah membuat adik-adiknya kelaparan. Ragil yang sudah tak makan beberapa hari terlihat sangat pucat. Begitu pun dengan adik adiknya yang lain. Ratih memanggil tabib desa untuk mengobati adiknya, namun selang beberapa menit sebelum Ratih dan sang tabib kembali ke rumah, Ragil sudah meninggal dunia.

Ratih menangis histeris. Begitu pun dengan adik-adiknya. Keesokan hari setelah mengubur adiknya di belakang rumah di sebelah kuburan sang ayah. Ratih mulai stres. Adik-adiknya terlihat agak ketakutan karena Ratih mulai suka tertawa, menangis dan berbicara sendiri. Adik-adik ratih memutuskan untuk bekerja serabutan. Ada dua adik Ratih yang ikut merantau ke Kudus bersama teman-temannya. Dan tinggal satu adik ratih yang bisu yang masih tinggal bersama Ratih karena belum mendapatkan kerja.

Ratih pun pergi meninggalkan lasem dan pergi ke Tayu bersama adiknya menggunakan kereta. Setelah sampai, Ratih pergi ke rumah Nenek dan menginap beberapa hari sebelum menemukan tempat tinggal sendiri. Nenek menawarkan untuk bekerja di pabrik rokok yang lokasinya cukup dekat. Dan ada rumah kecil yang bisa ditinggali oleh Ratih. Desa yang masih minim penduduk dan rumah yang jaraknya kira-kira 7-15 meter per rumah ini membuat suasana tak seramai di desanya dulu. Ratih terlihat sangat senang karena tak ada lagi orang menggunjingnya.

Setelah bekerja di pabrik rokok, kehidupan Ratih mulai membaik. Adiknya juga sudah bekerja dan memutuskan untuk merantau ke luar kota. Walaupun berat bagi Ratih yang harus tinggal sendirian di rumah tapi dia senang adik-adiknya sudah tumbuh dewasa dan bisa bekerja sendiri menghidupi nasib mereka. Ratih yang masih sendiri pun mulai tertarik dengan beberapa pria yang bekerja di belakang pabrik sebagai pedagang sayur. Dan tak butuh waktu lama Ratih pun menikah.

Hasil pernikahan Ratih dan Giman suaminya membuahkan dua anak. Laki-laki dan perempuan. Di Era Soekarno, negara bukan berarti sudah aman dari perang. Suami Ratih memutuskan ikut dalam militer dan bergabung menjadi pejuang dan setahun sekali pulang. Ratih tak bisa menolak keputusan sang suami karena memang untuk negara.

Di tahun ke-3 Suami Ratih tak pulang. Suami Ratih mengirim surat bahwa dia harus tinggal karena ada genjatan senjata di suatu kota. Ratih pun was-was dengan keadaan suaminya. Dua bulan setelah surat itu, ada surat lagi yang datang mengabarkan suaminya meninggal saat perang. Ratih menangis dengan kedua anaknya. Tapi ada yang mengganjal di surat itu, Ratih memperhatikan tulisan tangan di surat yang katanya dikirim oleh teman suaminya yang selamat. Tulisannya sama seperti tulisan suaminya, bahkan mirip.

Kecurigaan Ratih mulai muncul. Ratih pun pergi bersama anaknya ke tempat latihan militer suaminya di di ibukota. Ketika ia sampai, banyak orang yang melihatnya. Dia bertenya kepada penjaga tentang suaminya. Ratih memberikan identitas suaminya kepada sang penjaga. Beberapa saat kemudian penjaga kembali dan mengabarkan bahwa suaminya sudah keluar dari tempat itu satu tahun yang lalu. Ratih pun emosi karena menduga suaminya berselingkuh.

Kemudian Ratih menunggu orang-orang satu angkatan dengan suaminya dan bertanya pada mereka suaminya sekarang. Ada yang bilang suaminya menikah lagi, ada yang bilang suaminya tinggal di pusat kota. Sekian banyak info dari teman-temann suaminya, ia pun pergi mencari suaminya di besarnya ibukota. Dengan bermodalkan uang recehan ia nekad untuk mencari keberadaan suaminya.

Beruntung, ia menemukan rumah yang diduga rumah suaminya dengan istri barunya. Ratih memanggil nama suaminya dari luar rumah dengan terus menggedor-gedor pintu. Sementara kedua anaknya yang lelah duduk di teras rumah. Seorang wanita pun keluar dari balik pintu, Ratih pun emosi dan langsung menjambak rambut wanita itu dan membantingnya di tanah. Suami Ratih pun muncul dan melerai Ratih dengan wanita itu.

Ratih pun emosi dan marah-marah atas kelakuan suaminya. Giman suaminya Ratih pun tak peduli dengan ucapan Ratih dan mengusir Ratih pergi dari rumahnya. Merasa malu karena banyak orang yang datang dan menontonnya, Ratih pun nekad mengambil batu dan melemparnya kearah suaminya. Batu itu mengenai kepala belakang suaminya hingga pingsan karena banyaknya darah yang keluar. Giman suaminya akhirnya meninggal karena kehabisan darah dan Ratih harus menanggung nasib dipenjara. Sementara anaknya dibawa ke panti asuhan.

Didalam penjara, Ratih mulai stres dan depresi karena tahanan kebanyakan tak suka dengannya. Berbulan-bulan Ratih menghabiskan waktunya di sel tahanan. Setelah keluar dari penjara, Ratih pergi ke panti tempat anaknya dirawat. Tapi pihak panti bilang bahwa anak Ratih sudah diadopsi oleh orang lain. Ratih pun menangis merasakan hidupnya yang terlalu berat. Akhirnya Ratih pun pulang ke Rumahnya di Tayu. Setelah sampai ternyata rumahnya digusur karena tidak ada surat izin. Ratih pergi ke rumah Nenek.

Nenek yang waktu itu tidak ada dan hanya ada Ibu yang saat remaja. Ratih bertanya dimana nenek. Ibu bilang nenek pergi bekerja karena suami nenek meninggal dan harus menghidupi ibu seorang diri. Merasa bukan waktu yang tepat meminta bantuan Nenek, Ratih pun pergi ke sawah. Dia sudah gelap mata karena beban hidup yang ia miliki selama hidup. Adik-adiknya tak pernah kembali bahkan mengirim surat pun tidak. Suaminya menikah dengan perempuan lain. Anaknya pergi bersama orang asing. Sendirian, itulah yang dirasakan Ratih.

Akhirnya Ratih bunuh diri menggantung dirinya diatas pohon mangga disebelah sawah. Nenek yang mendengar kabar itu pun datang dan menangis histeris. Nenek tahu bagaimana beban hidup Ratih itu. Nenek tahu perasaan Ratih yang menghidupi anak-anaknya sendirian. Dan Ratih adalah Sahabatnya, tentu Nenek tahu itu.

Baiklah, itulah cerita sosok Ratih yang hampir membuat saya bernasib sama dengannya di akhir hidupnya. Mungkin kalian tahu maksudnya. Disaat orang dalam keadaan tak stabil antara pikiran dan hati, orang itu akan gelap mata dan hati. Dan bisa melakukan hal bodoh untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya karena merasa masalah itu tak kunjung selesai.

Semoga kisah Ratih diatas bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Akhirnya saya bisa menyelesaikan kisah Ratih walaupun tangan saya bergetar dan sedikit eluh keluar dari bola mata saya. Ingat! 'mereka' pernah hidup juga dan ada di sekitar kita. Septino Wibowo